Tim Hisab Rukyat Kemenag RI Tampil di Seminar Internasional Fakultas Syariah

Lhokseumawe – Dalam gelaran International Seminar on Sharia, Astronomy, and the Hijri Calendar yang dilaksanakan pada 24 Juli 2025 oleh Fakultas Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe, Prof. Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, Guru Besar Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang sekaligus anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama Republik Indonesia, tampil sebagai narasumber utama dengan materi berjudul “Kesan Final Pelaksanaan KIR Baru MABIMS dan Persediaan Arah Takwim Hijri Global.”

Dalam pemaparannya, Prof. Izzuddin mengupas tuntas sejarah dan tantangan dalam penetapan awal bulan qamariyah di Indonesia, yang dikenal kompleks karena beragamnya metode yang digunakan, seperti rukyat, hisab wujudul hilal, hisab imkanur rukyat, dan hisab aboge. Sejak kemerdekaan, tugas ini diemban oleh Kementerian Agama RI melalui Tim Hisab Rukyat yang terus berkembang dan diperkuat dengan pendekatan ilmiah dan partisipasi lintas ormas serta lembaga astronomi nasional seperti BMKG dan BIG.

Prof. Izzuddin menjelaskan bahwa sejak 2017, Tim Hisab Rukyat Kemenag RI menjadi salah satu penggagas lahirnya kriteria Neo-MABIMS, yakni tinggi hilal minimal 3° dan elongasi 6,4°, yang disepakati oleh negara-negara anggota MABIMS (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura). Kriteria ini disusun sebagai solusi ilmiah dan maslahat untuk menjembatani perbedaan metode penetapan awal bulan Hijriah yang kerap menimbulkan perbedaan Hari Raya.

Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama tidak hanya bekerja di belakang layar, tetapi menjadi aktor utama dalam penyusunan dasar-dasar ilmiah penetapan awal bulan Islam, terutama melalui mekanisme Sidang Itsbat yang diselenggarakan setiap menjelang Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah. Dalam sidang ini, data hisab dari tim Kemenag menjadi landasan teknis, sementara hasil rukyat dari seluruh Indonesia menjadi bukti empirik.

Dengan model partisipatif—melibatkan MUI, DPR, ormas Islam, dan pakar astronomi—Kementerian Agama melalui tim ini berhasil membangun kepercayaan publik serta meredam potensi konflik seputar perbedaan awal bulan. “Ilmu falak tidak boleh hanya berakhir di observatorium atau jurnal akademik. Ia harus hadir di tengah umat untuk menjawab kebutuhan ibadah mereka dengan sah dan maslahat,” ujarnya.

Tak hanya membahas tataran nasional, Prof. Izzuddin juga menyoroti urgensi membangun otoritas tunggal dalam penetapan kalender Islam secara global, misalnya melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Beliau mendukung penuh hasil-hasil Konferensi Internasional di Istanbul 2016 dan Rekomendasi Jakarta 2017, yang meletakkan dasar teknis dan normatif bagi kalender Hijriah global yang seragam, ilmiah, dan dapat diterima seluruh dunia Islam.

Prof. Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag lahir di Kudus, 12 Mei 1972. Ia merupakan Guru Besar Ilmu Falak di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang. Pendidikan S1 hingga S3 ia selesaikan di UIN Walisongo, dengan disertasi doktoral tentang akurasi metode penentuan arah kiblat. Selain aktif sebagai dosen dan peneliti, ia pernah menjabat sebagai Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat di Kementerian Agama RI (2013–2015). Saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Asosiasi Dosen Falak Indonesia dan Editor in Chief Al-Hilal: Journal of Islamic Astronomy. Dalam kiprahnya, Prof. Izzuddin dikenal sebagai tokoh moderat yang menggabungkan keilmuan falak klasik dengan pendekatan sains kontemporer.

Melalui seminar ini, Prof. Izzuddin menegaskan kembali pentingnya peran Tim Hisab Rukyat Kemenag RI sebagai motor dalam upaya unifikasi kalender Islam, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dalam tataran MABIMS dan dunia Islam. “Ilmu falak adalah ilmu ukhuwah, bukan perbedaan,” pungkasnya menutup sesi seminar.[]

Share this Post