Ketua Lembaga Falakiyah PWNU Aceh Sampaikan Materi dalam Seminar Internasional Fakultas Syariah
Lhokseumawe - Fakultas Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe kembali menunjukkan kiprah akademiknya di tingkat internasional dengan menyelenggarakan International Seminar bertema "Sharia, Astronomy, & the Hijri Calendar: Bridging Science & Faith in the Muslim World", pada tanggal 24 Juli 2025. Seminar ini menghadirkan narasumber dari berbagai negara, termasuk Malaysia dan Indonesia, salah satunya Dr. Ismail, S.Sy., M.A., dosen pada Jurusan Ilmu Falak Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe, dan juga Ketua Lembaga Falakiyah PWNU Aceh.
Dalam pemaparannya berjudul “The Position of Hisab and Rukyat in the Isbat Session for Determining the Beginning of the Hijri Month in Indonesia”, Dr. Ismail menjelaskan bahwa peran hisab sangat krusial dalam menyediakan data astronomis awal mengenai posisi hilal, seperti ketinggian dan elongasi saat matahari terbenam. Informasi ini menjadi dasar penting sebelum proses rukyat (pengamatan langsung) dilakukan. Dengan kata lain, hisab menjadi alat bantu yang strategis dalam kerangka ilmiah awal penentuan awal bulan.
Dr. Ismail menekankan bahwa dalam konteks Indonesia, kedudukan hisab dan rukyat bukan dalam posisi bersaing, melainkan saling melengkapi. Secara prinsip, rukyat tetap dijadikan penentu utama, sementara hisab berperan sebagai pendukung dan alat verifikasi awal. Dalam praktiknya, keputusan Sidang Isbat sangat bergantung pada keselarasan hasil antara perhitungan hisab dan observasi rukyat.
Beliau menjabarkan bahwa Indonesia saat ini menggunakan kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang ditetapkan tahun 2021, yakni hilal harus memiliki ketinggian minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat agar dinyatakan memenuhi syarat untuk dapat dirukyat. Kriteria ini menjadi pijakan baku dalam pengambilan keputusan pemerintah melalui Sidang Isbat.
Paparan selanjutnya mengulas bahwa penetapan awal bulan Hijriyah di Indonesia melibatkan dua pendekatan utama: hisab dan rukyat. Hisab mengandalkan presisi perhitungan astronomi dan dapat memberikan kepastian jauh hari sebelumnya tanpa tergantung pada kondisi cuaca. Sementara rukyat membutuhkan observasi visual langsung terhadap hilal, yang sangat bergantung pada kondisi langit. Perbedaan metodologis ini seringkali menjadi sumber variasi dalam penentuan tanggal penting seperti awal Ramadan dan Idul Fitri.
Dr. Ismail memaparkan bahwa Sidang Isbat merupakan forum resmi yang digelar Kementerian Agama RI, menjadi ruang temu bagi ahli falak, ormas Islam, dan lembaga negara. Prosesnya melibatkan akumulasi data hisab dan laporan rukyat dari seluruh wilayah Indonesia, demi menghasilkan keputusan yang mengikat secara hukum. Ia memberi contoh, penentuan awal Syawal 1446 H dijadwalkan pada 29 Maret 2025.
Dalam pelaksanaannya, rukyat berfungsi sebagai verifikasi visual terhadap data hisab. Tim pengamat disebar ke lokasi strategis di Indonesia, dilengkapi dengan peralatan seperti teleskop, theodolite, dan kamera digital sensitif cahaya rendah. Namun keberhasilan pengamatan sangat dipengaruhi faktor cuaca dan geografi, menjadikannya metode yang dinamis dan kontekstual.
Tantangan muncul saat hasil hisab dan rukyat tidak selaras. Kadang, hilal secara hisab telah wujud, namun belum memenuhi kriteria visibilitas, sehingga menimbulkan perbedaan tanggal. Ini dapat berdampak pada keragaman pelaksanaan ibadah dan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, menurut Dr. Ismail, keberadaan Sidang Isbat sebagai forum keputusan final sangat penting demi menjaga keseragaman dan kemaslahatan umat.
Di akhir paparannya, Dr. Ismail menegaskan bahwa upaya harmonisasi terus dilakukan, di antaranya melalui adopsi kriteria MABIMS, dialog antarlembaga, dan integrasi metode hisab-rukyat. Seminar, lokakarya, dan forum akademik seperti ini menjadi ruang strategis untuk memperkuat pemahaman bersama dan meminimalkan perbedaan antarumat.
Sebagai penutup, beliau menyampaikan bahwa hisab dan rukyat bukan dua kutub yang saling bertentangan, melainkan dua alat dalam satu sistem keilmuan Islam. Harmonisasi keduanya mencerminkan semangat musyawarah dan ukhuwah dalam penentuan kalender Islam yang bersifat global namun kontekstual. Indonesia, dengan keberagaman masyarakat Muslimnya, berperan penting sebagai pelopor dalam upaya menyatukan pendekatan keilmuan dan keimanan dalam penentuan awal bulan Hijriyah.[]