Belajar Menjadi Pemaaf: Sebuah Introspeksi Diri di Bulan Kelahiran Nabi

Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim

Sebuah peristiwa “pencemaran nama baik” telah terjadi di zaman Nabi, dikenal dengan hadis al-ifki. Kasus ini menimpa diri nabi sendiri dan keluarganya, di mana ‘Aisyah difitnah melakukan perbuatan tidak senonoh dengan Shafwan bin Mua’tthal al-sulami. Tuduhan tidak berdasar tersebut yang dihembuskan oleh orang-orang munafik Madinah sempat menggoyangkan rumah tangga nabi serta rumah tangga bisannya yang sekaligus juga sahabat dekatnya, Abu Bakar Siddiq sebagai ayah kandung ‘Aisyah. Tuduhan palsu ini akhirnya dibantah langsung oleh Allah melalui sejumlah firman-Nya dalam surah An-Nur, setelah sebulan lamanya wahyu tak turun kepada Nabi saw. Bantahan tersebut secara umum juga menegaskan kesucian ‘Aisyah istri Rasulullah saw.

Namun sebelum ayat-ayat yang membebaskan ‘Aisyah turun, di sana ada beberapa sahabat sempat terprovokasi dan termakan dengan isu negatif tersebut, antaranya Mistah bin Utsatsah, sepupunya Abu Bakar. Ia adalah anak dari bibinya Abu Bakar, atau pamannya ‘Aisyah dari pihak ayah. Ia termasuk sahabat miskin yang hijrah ke Madinah, biaya hidup hari-harinya ditanggung oleh Abu Bakar. Maka tidak heran jika Abu Bakar sangat marah dan kecewa saat tahu bahwa Mistah ikut “memviralkan” tuduhan palsu yang mencederai kehormatan ‘Aisyah, keluarganya dan keluarga nabi pastinya. Karena perbuatannya itu Abu Bakar sempat bersumpah untuk tidak lagi mau membantu dan menafkahi hidupnya

Kekecewaan dan kemarahan Abu Bakar ini menjadikan Allah angkat bicara dengan menurunkan wahyu-Nya, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, (An-Nur: 22). Ayat ini disahuti oleh Abu Bakar dengan kata-katanya yang sangat emosional, “sungguh aku mau diampuni dan dimaafkan oleh Allah SWT”. Ia pun berkomitmen untuk kembali menafkahi dan menyara hidup Mistah seperti sedia kala.

Mengapa Harus Memaafkan

Cerita pada ayat di atas memberi jawaban tegas dan sangat fundamental, mengapa umat Islam diajarkan untuk selalu memaafkan, mengapa harus menjadi pribadi pemaaf. Memaafkan bukan berarti tidak boleh marah atau kesal atas sesuatu, baik itu perkataan, perbuatan atau sikap apa pun yang melukai perasaan. Kecewa, marah atau kesal merupakan fitrah manusia saat ditimpakan hal-hal yang menggiris hati dan perasaannya. Abu Bakar marah dan kesal atas sikap Mistah yang ikut merongrong marwah dan harga diri keluarganya. Apalagi selama ini Mistah hidup dengan berharap belas kasihan darinya. Makan minumnya melalui usaha Abu Bakar. Namun Allah ingin mengajarkan hamba-Nya, bahwa berhenti pada sikap marah bukanlah pilihan yang tepat, akan tetapi sebaliknya, memaafkan merupakan sikap terpuji dan pilihan terbaik.

Pada ayat tersebut Allah menjelaskan mengapa harus memaafkan, di mana pelajaran ini tidak hanya ditujukan kepada Abu Bakar semata, tetapi juga kepada umat Islam secara keseluruhan. Memaafkan karena kita ingin dimaafkan. Begitu alasan yang dikemukakan Allah SWT. Ini isyarat bahwa setiap orang punya kesalahan, meskipun sekaliber Abu Bakar, yang oleh Allah sendiri menyebutnya dengan “al-atqa” (orang paling bertakwa), sebagaimana tersebut dalam firman-Nya, “dan kelak neraka itu akan dijauhkan dari orang yang paling bertakwa”, (Al-Lail: 17). Ibnu ‘Abbas mengatakan, bahwa “orang itu adalah Abu Bakar”. Pun begitu, Abu Bakar tetaplah manusia yang tak luput dari silap dan salah, baik disadarinya atau tidak. Dalam sebuah hadis disebutkan, “setiap anak Adam pasti berbuat salah”, (HR: Tirmizi). Pada hadis lainnya, nabi bersabda, “tidak seorang pun dari anak Adam melainkan pasti berbuat salah”, (HR: Ahmad). Bahkan Adam sendiri berbuat salah, lalu adakah di antara kita yang lebih mulia dari Abu Bakar dan Nabi Adam sehingga dapat terbebas dari salah dan dosa.

Fitrah orang yang bersalah pasti ingin dimaafkan. Ini menegaskan bahwa setiap kita sebagai manusia yang tidak luput dari berbuat salah pasti ingin dimaafkan. Allah mengajarkan hamba-Nya, “jika ingin dimaafkan, maka maafkan”. Kisah Abu Bakar pada ayat di atas secara implisit mengajarkan umat ini agar tidak menaruh dendam pada siapa pun, tetapi memilih untuk memaafkan, apa lagi jika yang bersalah sudah meminta maaf. Allah berfirman, “Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”, (An-Nisa’: 149).  Imam Sa’di menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “siapa yang memaafkan orang lain karena Allah, Allah akan memaafkannya, seseorang akan dibalas sesuai dengan usahanya”.

Jangan Memancing di Air Yang Keruh

Hari-hari belakangan ini kita dihadapkan pada ragam berita yang menuding para pimpinan negara ini dengan berbagai tudingan miring dan kritikan yang kadang-kadang tidak pada tempatnya, hanya karena salah ucap dalam menyampaikan sesuatu. Padahal mereka sudah melakukan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka kepada publik, bahkan kepada orang-orang yang merasa tersakiti dan tersinggung dengan ucapan tersebut. Namun masih saja diulas dan dipelintir ke sana sini. Tentu dengan berbagai alasan yang sekilas tampak argumentatif, kritis dan ilmiah. Sehingga kerap kali memicu kericuhan di tengah-tengah masyarakat dan berujung pada kemarahan publik terhadap pemerintah.

Hal ini bukan berarti pemerintah kebal kritik, lalu rakyat diam saja atas setiap ucapan, perbuatan dan sikap mereka. Islam mengajarkan umatnya konsisten menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Di mana setiap kali ditemukan adanya kejanggalan atau hal-hal yang tidak sesuai dengan norma agama dan aturan yang berlaku mereka berkewajiban untuk mencegahnya, mengkritisinya, meskipun itu lahir dari pemimpinnya. Dalam sebuah hadis nabi bersabda, “tidak boleh taat pada hal-hal yang buruk (maksiat), ketaatan itu hanya berlaku untuk hal-hal yang baik (ma’ruf)”, (HR: Bukhari).  Artinya, seseorang hendaknya mengkritisi sikap dan kebijakan pemimpinnya jika itu dipandang tidak benar. Tentu dengan penuh keadaban dan tidak mencari-cari kesalahan.

Jika dalam interaksi mereka sebagai seorang manusia, ada hal-hal yang kurang pantas, tidak salah jika rakyat memaafkannya, meskipun mereka tidak meminta maaf. Tentu menjadi tanggung jawab moral untuk “wajib” memaafkan apabila mereka sudah mengajukan permohonan maaf. Apalagi semua itu dilakukan secara sportif, sukarela dan terbuka. Maka tidak ada pilihan kecuali memaafkannya. Mengikhlaskan kemaafan dengan tidak mengungkit-ungkit dan membesar-besarkan kesalahannya, kecuali hal-hal yang secara konstitusional atau menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh dimaafkan.

Sungguh tidak adil rasanya mengatasnamakan rakyat, apalagi jika itu bukan murni aspirasi rakyat, lalu dengan penuh retorik mengatakan, “jangan sakiti rakyat”. Jika memang benar secara tulus ingin meluruskan sikap pemimpin atas kesalahan mereka, apa tidak sebaiknya disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan, tanpa harus mempublikasikannya kepada khalayak terlebih dahulu. Banyak para pengkritik kadang sengaja memanfaatkan suasana dan memancing emosi rakyat. Mereka memprovokasi dan menghasut masyarakat demi kepentingan pribadi yang bersifat jangka pendek. Dengan mengatasnamakan rakyat, terkesan seakan-akan mereka membela dan berjuang untuk kepentingan rakyat. Rakyat tidak sadar kalau saat itu mereka adalah tumbal. Orang-orang “cerdik” seperti ini dalam Islam dikenal dengan “ulama jamahir”. Mereka adalah bagian dari ulama jahat yang berselindung di balik jargon “demi rakyat”. Mereka ini lebih buruk dari siapa pun. Mereka adalah musuh dalam selimut, duri dalam daging buat bangsa ini.

Jika merasa sebagai umat Islam, maka yakinlah bahwa kita terlahir sebagai orang-orang yang mencintai kedamaian, senang memaafkan, mengkritisi dengan tulus, lembut dan penuh adab, karena begitulah yang dicontohkan oleh nabi kita Muhammad saw. Jika Allah memaafkan Adam karena pertobatannya, lantas kenapa kita enggan, terlebih untuk pemimpin dan atasan kita. Bukankah mereka mengaku salah dan telah meminta maaf..? Wallahua’lam.[]

Share this Post